Selasa, 25 Januari 2011

ResEnsi

Darah Garuda

Sutradara : Yadi Sugandi
Conor Allyn
Penulis : Conor Allyn
Rob Allyn
Pemeran : Lukman Sardi
Donny Alamsyah
Darius Sinathrya
Ario Bayu
Teuku Rifnu Wikana
Rahayu Saraswati
Rudy Wowor
Astri Nurdin
Alex Komang
Aldy Zulfikar

Distributor : Media Desa Indonesia
Margate House
Tanggal rilis : 8 September 2010
Sinopsis
Film ini adalah sekuel kedua dari Trilogi Film yang mengambil setting perjuangan bangsa Indonesia di masa Revolusi.
Dikabarkan bahwa biaya film ini cukup fantastis yakni 64 Milyar, sebuah film yang bisa jadi masuk dalam kategori film termahal untuk sementara ini di Indonesia.
Sayangnya, kualitas film tersebut ternyata tidak semahal biayanya. Sangat jauh dari harapan dan lebih mirip opera sabun bin telenovela di TV-TV. Bedanya, film ini settingnya out door, sementara telenovela kebanyakan indoor.
Film Darah Garuda (DG), ternyata nasibnya tidak jauh berbeda dari film pendahulunya yakni : Film Merah Putih. Bisa jadi film DG ini malah lebih buruk. Dalam ukuran film kolosal (dengan garis bawah tebal “berbiaya mahal”), sama sekali tidak ada kesan DG adalah sebuah film kolosal. Celakanya, hampir seluruh kadar artistiknya lemah. Tak ada yang bisa dibanggakan. Bahkan aktor-aktor hebat yang terlibat di dalamnyapun mendadak jadi seperti pemain yang baru saja lulus casting pertama sekali. Hal ini menunjukkan begitu lemahnya sang sutradara dalam membangun desain ekspresi dan emosi.
Pun sepertinya tidak menjadi penting ketika (film perjuangan pribumi dalam meraih kemerdekaan ini) sejumlah effectnya ditangani oleh bule-bule berbayaran mahal, jika hasil akhirnya sama sekali jauh dari segala isu yang dihembuskan waktu promosi. Kalo mau blak-blakan, segudang kreator effect kita (yang lahir dan mati di bumi Indonesia) mampu melakukan apa yang ditunjukkan dalam film tersebut. Film-film kolosal yang banyak dibuat tahun 80-an menunjukkan bukti kemampuan anak negeri dalam membuat effect. Selain itu, hingga tahun 2010 ini sudah setumpuk animator Indonesia yang diminta dan terlibat dalam film-film berteknologi tinggi untuk luar negeri. Walhasil, jika dilihat dari tujuan film (yang katanya membangun nasionalisme) lalu dikaitkan dengan hasil effect dan siapa pembuat effectnya , bukankah ini terlihat sangat ironis ?
Secara matematika, angka 64 Milyar tersebut mungkin saja dibagi menjadi tiga sekuel. Jika dipukul rata, jatah persekuelnya memakan anggaran 21 Milyar sekian. Lalu mari kita bandingkan dengan sebuah film kolosal lain yang berbudget 12 Milyar (satu sekuel) dan sama-sama diluncurkan tahun 2010 ini. Ampun…jauh sekali anggarannya, sekaligus beda sekali hasil akhirnya.
Kesimpulan
menceritakan perjuangan bangsa indonesia di masa revolusi dalam meraih kemerdekaan dan membangun nasionalisme



Sang Pemimpi



Penulis : Andrea Hirata
Negara : Indonesia
Bahasa : Indonesia
Penerbit : •Yogyakarta: Bentang Pustaka
Tanggal : terbit Juli 2006
Halaman : 292 halaman
Jenis buku : fiksi

Sang Pemimpi adalah novel kedua dalam tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka pada Juli 2006. Dalam novel ini Andrea mengeksplorasi hubungan persahabatan dan persaudaraan antara Ikal dan Arai.

Sinopsis
Dalam Sang Pemimpi, Andrea bercerita tentang kehidupan ketika masa-masa SMA. Tiga tokoh utamanya adalah Ikal, Arai dan Jimbron. Ikal- alter egonAndrea Hirata, sedangkan Arai adalah saudara jauh yang yatim piatu yang disebut simpai keramat karena anggota keluarga terakhir yang masih hidup dan akhirnya menjadi saudara angkat dan Jimbron adalah seorang yatim piatu yang terobsesi dengan kuda dan gagap bila sedang antusias terhadap sesuatu atau ketika gugup.
Ketiganya dalam kisah persahabatan yang terjalin dari kecil sampai mereka bersekolah di SMA Negeri Manggar, SMA pertama yang berdiri di Belitung bagian timur. Bersekolah di pagi hari dan bekerja sebagai kuli di pelabuhan ikan pada dini hari, dari ketagihan mereka menonton film panas di bioskop dan akhirnya ketahuan guru mengaji mereka , kisah cinta Arai dan Jimbron, perpisahan Jimbron dengan ikal dan Arai yang akan meneruskan kuliah di Jakarta yang akhirnya membuat mereka berdua terpisah tetapi tetap akan bertemu di Perancis. Hidup mandiri terpisah dari orang tua dengan latar belakang kondisi ekonomi yang sangat terbatas namun punya cita-cita besar , sebuah cita-cita yang bila dilihat dari latar belakang kehidupan mereka, hanyalah sebuah mimpi.
Kesimpulan
cerita pengalaman kehidupan waktu SMA dan memiliki cita-cita yang begitu besar,hidup mandiri terpisah dari orang tua ,sebuah cita-cita yang bisa latar belakang kehidupan mereka,hanyalah sebuah mimpi























Sang Pencerah


Sutradara : Hanung Bramantyo
Produser : Raam Punjabi
Penulis : Hanung Bramantyo
Pemeran ; Lukman Sardi
Yati Surachman
Slamet Rahardjo
Giring Ganesha
Ikranagara
Muhammad Ihsan Tarore
Zaskia Adya Mecca
Sujiwo Tejo
Dennis Adhiswara
Agus Kuncoro
Sinematografi : Faozan Rizal
Penyunting : Wawan I. Wibowo
Distributor : Multivision Plus
Tanggal rilis : 8 September 2010
Negara : Indonesia

Sinopsis
Sepulang dari Mekah, Darwis muda (Muhammad Ihsan Tarore) mengubah namanya menjadi Ahmad Dahlan. Seorang pemuda usia 21 tahun yang gelisah atas pelaksanaan syariat Islam yang melenceng ke arah sesat, Syirik dan Bid'ah.
Dengan sebuah kompas, dia menunjukkan arah kiblat di Masjid Besar Kauman yang selama ini diyakini ke barat ternyata bukan menghadap ke Ka'bah di Mekah, melainkan ke Afrika. Usul itu kontan membuat para kiai, termasuk penghulu Masjid Agung Kauman, Kyai Penghulu Cholil Kamaludiningrat (Slamet Rahardjo), meradang. Ahmad Dahlan, anak muda yang lima tahun menimba ilmu di Kota Mekah, dianggap membangkang aturan yang sudah berjalan selama berabad-abad lampau.
Walaupun usul perubahan arah kiblat ini ditolak, melalui suraunya Ahmad Dahlan (Lukman Sardi) mengawali pergerakan dengan mengubah arah kiblat yang salah. Ahmad Dahlan dianggap mengajarkan aliran sesat, menghasut dan merusak kewibawaan Keraton dan Masjid Besar.
Bukan sekali ini Ahmad Dahlan membuat para kyai naik darah. Dalam khotbah pertamanya sebagai khatib, dia menyindir kebiasaan penduduk di kampungnya, Kampung Kauman, Yogyakarta. "Dalam berdoa itu cuma ikhlas dan sabar yang dibutuhkan, tak perlu kiai, ketip, apalagi sesajen," katanya. Walhasil, Dahlan dimusuhi.
Langgar kidul di samping rumahnya, tempat dia salat berjemaah dan mengajar mengaji, bahkan sempat hancur diamuk massa lantaran dianggap menyebarkan aliran sesat
Dahlan, yang piawai bermain biola, dianggap kontroversial. Ahmad Dahlan juga di tuduh sebagai kyai Kafir karena membuka sekolah yang menempatkan muridnya duduk di kursi seperti sekolah modern Belanda, serta mengajar agama Islam di kweeshcool atau sekolah para bangsawan di jetis yogyakarta
Ahmad Dahlan juga dituduh sebagai kyai Kejawen hanya karena dekat dengan lingkungan cendekiawan priyayi Jawa di budi otomo Tapi tuduhan tersebut tidak membuat pemuda kauman itu surut. Dengan ditemani isteri tercinta, Siti Walidah (zaskia adya mecca) dan lima murid murid setianya : Sudja (Giring Ganesha), Sangidu (Ricky Perdana), Fahrudin (Mario Irwinsyah), Hisyam (Dennis Adhiswara) dan Dirjo (Abdurrahman Arif), Ahmad Dahlan membentuk organisasi Muhammadiyah dengan tujuan mendidik umat Islam agar berpikiran maju sesuai dengan perkembangan zaman.
Sosok Dahlan
Dahlan digambarkan sebagai sosok yang mengayomi, toleran, terbuka, visioner, tak menilai orang dari luaran, dan sebagainya. Sifat-sifat kepemimpinan Dahlan ini digambarkan secara detail sesuai dengan nilai-nilai kepemimpinan Jawa. (Tafsir Jawa Keteladanan Kiai Ahmad Dahlan, hlm 33-95).
Ia berani mengenakan jas dengan tetap berserban ketika mengikuti acara-acara Boedi Oetomo atau mengajar di Kweekschool. Adalah Dahlan yang pertama kali mengajar agama di Kweekschool. Dalam penelitiannya tentang pemberontakan petani di Banten pada 1888, Sartono Kartodirdjo menyebutkan Yogyakarta yang berpenduduk 651.123 jiwa pada 1887 hanya memiliki 187 guru agama dan 485 haji.
Dahlan juga bisa memanfaatkan biola untuk mengajarkan agama kepada anak-anak, untuk mendorong mereka mencari jawaban, sebelum ia memberikan jawaban. Ia tetap pada pilihannya itu, meski hal itu bisa mengundang salah pengertian. ”Kenapa main musik londo, Kiai?”
Dahlan harus menghadapi berbagai rintangan, termasuk ketika langgarnya dirobohkan orang-orang utusan Kiai Penghulu, hingga ia pergi diam-diam dari Kauman. Dia dicap kafir, karena mengusulkan perubahan arah kiblat dengan berpatokan pada alat kompas dan peta yang dibuat kaum kafir, karena pakaiannya, karena biolanya, dan sebagainya.
Ia merasa sudah tak ada tempat dan tak ada yang bisa ia perbuat lagi di Kauman. Tapi, kakak iparnya, Kiai Saleh dan istrinya, mencegahnya di stasiun dan memberikan dukungan mental kepadanya.
Pada 1888, Sadrach -yang dibaptis pada 1867 dan mulai memimpin persekutuan di Karangjoso pada 1870, menggantikan Ny Philips yang ia bantu sejak 1869– tentu belum memiliki pengikut sebanyak itu. Menurut catatan penginjil Wilhelm, pengikut Sadrach baru 3.000 orang pada 1889. Sebanyak 1.013 orang di antaranya berada di Karesidenan Yogyakarta. Sisanya menyebar di Bagelen, Banyumas, Tegal, dan Pekalongan. (Sedjarah Geredja di Indonesia, Muller Kruger, 1959).
Setelah mendapat cerita sepak-terjang Sadrach, Sang Pencerah melanjutkan cerita tentang Dahlan yang mencoba berdialog dengan para pendeta/pastur/misionaris. Dahlan ingin penyebaran agama tetap dalam semangat tanpa saling menyakiti. Dialog terakhir dilakukan dengan dr Zwijner, yang ia tantang: Jika ia kalah berdebat, ia rela masuk Kristen, tapi jika Zwijner yang kalah, Zwijner harus rela masuk Islam. Debat dengan Zwijner batal, dan Ki Hajar Dewantara menulis hal itu di Darmo Kondo.
Tapi, ia gagal menunjukkan tahun peristiwa dialog Dahlan-para pendeta/pastur itu. Ia mengakhiri cerita di bagian ini dengan alinea ”Pergantian abad Masehi yang hanya tinggal beberapa bulan lagi sebelum memasuki tahun 1900…” Ini memberi gambaran bahwa peristiwa Dahlan menjalin dialog antaragama terjadi di tahun-tahun sebelum 1900.
Tentu Akmal tahu, Ki Hajar Dewantara pertama kali menulis pada 1910, lewat Medden Java dan De Express di Bandung (Nyi Hajar Dewantara, BS Dewantara, 1979). Darmo Kondo pun baru mulai terbit pada 1903, yang kemudian mulai Januari 1911 terbit dalam bentuk majalah hingga 1930-an.
Kemungkinan, dialog Dahlan dengan para pendeta justru baru dimulai di atas tahun 1900. Dialog dengan Pastur van Driese dilakukan, setelah Dahlan intens bergaul dengan kalangan nasionalis (ini tentu di tahun-tahun awal Boedi Oetomo), dan dialog dengan Pendeta Bakker dilakukan di Jetis (ini tentu setelah Dahlan mengajar di Kweekschool).
Purbawakatja memiliki catatan tentang persahabatan Dahlan dengan Pastur van Lith ketika ia menjadi murid Dahlan pada 1914-1918. Van Lith adalah pastur pertama yang diajak dialog oleh Dahlan. ”Antara lain beliau bersahabat dengan Pastur van Lith di Muntilan yang merupakan tokoh di kalangan keagamaan Katholik. Dan, suatu keajaiban pada waktu Kiai Dahlan tidak ragu-ragu masuk gereja dengan pakaian hajinya.” ”Kisah-kisah (episode Kiai Dahlan-para pendeta) itu saya kumpulkan pada satu bagian saja untuk tidak muncul berulang-ulang pada penceritaan lain, karena penekanan pada kisah ini adalah bahwa Kiai Dahlan lebih mengutamakan dialog (open baar sebagai istilah saat itu) dengan pemuka agama lain, ketimbang melakukan atau menyerukan tindakan anarkis kepada para muridnya,” jelas Akmal memberi alasan.
Tapi, kurang tepat mengurai kegusaran Dahlan tentang Kristenisasi berangkat dari kiprah Kiai Sadrach. Sebab, Kiai Sadrach dan penginjil-penginjil pribumi, dalam menyebarkan Injil tak menyakiti umat Islam. Mereka menempatkan Injil sebagai ngelmu yang di setiap debat terbuka selalu bisa mengalahkan ngelmu Islam yang dimiliki orang-orang Islam.
Tradisi saat itu memang demikian, yang kalah berguru kepada yang ngelmu-nya lebih tinggi. Maka, Sadrach dengan cepat bisa mengkristenkan orang-orang Jawa.
Hal-hal yang menyakitkan justru muncul dari penginjil Belanda -hal yang lebih tepat menjadi penyebab Dahlan harus berdialog dengan para pendeta/pastur. Penginjil-penginjil Belanda menggunakan pendekatan pengobatan untuk merekrut orang-orang Jawa agar beralih ke Kristen. Juga lewat perekonomian dan sekolah. (lihat Tumbuh Dewasa Bertanggungjawab, CW Nortier, 1981 –terjemahan dari terbitan 1939– dan lihat juga Benih yang Tumbuh VII, Handoyomarno, 1976).
Akan lebih mengena jika Akmal mengurai kegusaran Dahlan terhadap Kristenisasi, berawal dari pemberian izin Sultan kepada para misionaris di Yogyakarta. Kristenisasi di Yogyakarta berkembang pesat setelah pada 1889 Sultan -atas tekanan Belanda– memberi izin kepada para misionaris di Yogyakarta menyebarkan Kristen di Jawa.
Izin ini keluar sebelum Dahlan berangkat haji pertama pada 1890, di usia 22 tahun -tahun Dahlan berhaji pertama yang dicatat A Mukti Ali (1957), H Soedja (1989), dan MY Asrofie (1983) di buku masing-masing. Di Sang Pencerah, Akmal memakai referensi website Muhammadiyah yang menyebut Dahlan berhaji di usia 15 tahun berdasarkan buku KH Ahmad Dahlan: Riwayat Hidup dan Perjuangannya, karya Sutrisno Kutojo dan Mardanas Safwan (1991).
Sultan kemudian menebus dosanya itu dengan mendukung penuh pendirian Muhammadiyah yang akan menghalau Kristenisasi. Menurut penuturan kerabat Keraton yang diwawancara Ahmad Najib Burhani pada 2003, Sultan memberi uang dan tanah untuk sekolah-sekolah Muhammadiyah demi tujuan menahan Kristenisasi dan pengaruh budaya Barat di Jawa. (Muhammadiyah Jawa, hlm 69).
Sultan juga mengungkapkan penyesalannya, lantaran “kesewenangan” Kiai Penghulu yang membuat Dahlan harus mengundurkan diri dari khatib Masjid Gede. Sikap Kiai Penghulu yang selalu apriori terhadap Dahlan itu membuat kita bisa tertawa bersama Sultan di bagian akhir novel ini.
Kiai Penghulu menolak pendirian Muhammadiyah hanya karena Dahlan, menurutnya, memiliki motif pribadi hendak menjadi residen. Dalam surat permohonan, disebut Dahlan sebagai presiden Muhammadiyah. ”Jadi, Kiai Penghulu tidak tahu bedanya president dan resident?”


Kesimpulan
seorang kyai sebagai sosok mengayomi,toleran dan mempelajari nilai-nilai keagamaan dan memebuat pendidikan umat islam menjadi berkembang